Antara bapak suharto dan bapak sukarno
Saat bocah dulu, aku meyaqini sukarno dan gusdur wali.
Fanatik dan keyaqinanku itu Tiada lain kerena doktrin ala jawa timur yg sangat kuat dan menancap di lubuk hati orang awam.
Namun jika kita mau berpikir cerdas dan mau menambah wawasan luas, logika simpelnya saja "Masak anaknya orang wali kok gak genah, dari kecil didik pakai jilbab saja tak becus, besarnya agamanya abu2 dan yg satunya penuh unsur liberal"
Semoga semakin pintar bangsaku.
BAPAK SUHARTO SATU2NYA PRESIDEN INDONESIA YG TERBAIK DI NEGERI INI DAN PALING PATRIOTIS
Mari kita baca kembali Sejarah bapak suharto dan sukarno yg sudah menyebar sangat menyimpang.
Beginilah Cara Cerdik Jenderal Nasution Ketika Menumbangkan Kediktatoran Sukarno.
Ada beberapa artikel yang cenderung menuduh & memojokan Soeharto. Seolah-olah Soeharto yang telah menggulingkan Soekarno. Beberapa dalih mereka gunakan bahkan posisi Soeharto yang menjabat sebagai presiden RI yg menggantikan Soekarno, mereka jadikan alat untuk menuduh bila Soehartolah yang mengkudeta Soekarno. Secara tegas penulis mengatakan bila semua itu adalah BOHONG dan FITNAH.
Jika melihat fakta sejarah berdasarkan kronologis kejadian yang terjadi di tahun 1965 hingga tahun 1967, Adalah salah kaprah jika menganggap bahwa Soeharto lah yang menggulingkan Soekarno. Berdasarkan fakta sejarah yang terjadi dimasa itu, justru Jenderal Besar Abdul Haris Nasution adalah orang yang paling berperan dalam menjatuhkan Soekarno dari jabatanya sebagai Presiden Seumur Hidup.
Saat tragedi G30S/PKI terjadi, Pak Nas (sapaan akrab beliau) menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan serta menjabat Kepala Staff Angkatan Bersenjata . Dia adalah target utama yang harus dihilangkan. Kegagalan pasukan Cakrabirawa untuk membunuhnya adalah awal serangan balik yang maha dashyat untuk Soekarno dan Dewan Revolusinya.
Pak Nas adalah salah satu Jenderal TNI Angkatan Darat (AD) yang terpaksa setuju pada perintah Soekarno untuk menyerang Malaysia. Sebagian besar Jenderal TNI AD menolaknya. Mereka tak mau nyawa prajurit TNI AD digadaikan hanya untuk ambisi pribadi Soekarno. Apalagi dalam perang tersebut, ada upaya penyebaran faham komunisme oleh PKI dan menyokong Partai Komunis Malaysia. Para relawan yang disusupkan juga dipersenjatai dengan senjata kiriman dari negara komunis China, yang nantinya bakal diusulkan oleh DN Aidit untuk jadi angkatan kelima.
Pak Nas berhasil lolos dengan luka di kakinya. Dari tempat persembunyianya, dia meraba-raba mengenai korps pasukan yang masih setia kepadanya. Berdasarkan pengalaman dimasa perang kemerdekaan, secara naluri militer, Pak Nas akhirnya memilih Mayjen Soeharto sebagai tempat perlindungannya. Apalagi informasi yang diperolehnya dari orang kepercayaannya, Soeharto merupakan jenderal yang masih teguh menunggu kepastian tentang keadaan Pak Nas. Akhirnya Pak Nas memutuskan untuk menemui Soeharto di Markas Kostrad dengan segala resiko yang siap untuk dihadapinya.
Perlu diketahui, pada masa itu jabatan Panglima Komando Strategis Cadangan Angkatan Darat tidak membawahi pasukan, berbeda dengan sekarang. Soeharto dengan cerdik memanggil komandan RPKAD (Kopassus) Sarwo Edhie dan meminta kesetiaannya dan pasukannya. Setelah memiliki pasukan dan kelengkapannya, Soeharto meminta Nasution untuk datang ke markas Kostrad. Di sinilah Nasution kali pertama mendapat perawatan atas luka-lukanya dan mulai melancarkan serangan balik.
Sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan. Nasution memberi perintah pada Soeharto untuk mengambil alih komando TNI AD dan menjaga kesiagaan pasukan Angkatan Darat sembari menyusun serangan balasan.
Sementara dari Halim, atas nama Dewan Revolusi, Soekarno menunjuk Mayjen Pranoto Reksosamudro sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat, menggantikan posisi Letjen Ahmad Yani. Mengetahui hal ini, Nasution segera mengamankan Pranoto di Markas Kostrad dan membriefingnya agar tidak menerima jabatan tersebut.
Menyadari bahwa kekuatan Angkatan Darat saat itu hanya prajurit RPKAD dan jumlah prajurit Kostrad sendiri saat itu tidak cukup memadai, Nasution-pun meminta bantuan Menteri Panglima Angkatan Laut, RE Martadinata, saat menjenguknya pada tanggal 2 Oktober 1965. Setelah mendengar penuturan Nasution, akhirnya RE Martadinata menyetakan bila TNI AL mendukung sepenuhnya langkah TNI AD untuk melawan gerakan 30 Septenber.
Gabungan prajurit RPKAD dan TNI AL serta pasukan Kostrad yang masih seadanya, mereka sukses memukul balik gerakan 30 September dan memaksa Presiden Soekarno untuk pulang ke istana dan membubarkan Dewan Revolusi.
Saat itulah nama Nasution berkibar dihati rakyat indonesia. Namun sayang, disaat yang bersamaan, Nasution juga berduka atas kematian putrinya, Ade Irma Suryani yang meninggal pada tanggal 6 Oktober 1965 di RSPAD setelah menjalani operasi pengangkatan sisa peluru yang terakhir.
Dalam beberapa minggu pertama setelah G30S, Nasutionlah yang terus menerus meloby Soekarno untuk menunjuk Soeharto sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat. Soekarno yang setelah 1 Oktober menginginkan Pranoto sebagai pimpinan Angkatan Darat dan ingin menunjuk Soeharto sebagai Panglima Kopkamtib, akhirnya menuruti keinginan Nasution. Akhirnya pada tanggal 14 Oktober 1965, Soeharto ditunjuk sebagai pimpinan Angkatan Darat dan secara resmi menjadi Menteri Panglima Angkatan Darat pada 21 Februari 1966 saat pembentukan kabinet Dwikora II atau yang dikenal sebagai kabinet 100 menteri.
Soekarno sebenarnya memahami karakter dan sepak terjang Nasution dan berencana untuk mengkebiri langkah Nasution dengan menawarkan posisi Wakil Presiden. Namun Nasution cukup pintar dan cerdik. Melalui Soeharto, pada awal tahun 1966, Nasution mengeluarkan pernyataan bila Indonesia saat ini tidak ada kebutuhan untuk mengisi kursi Wakil Presiden yang kosong.
Nasution dengan cerdik membidik posisi kursi Ketua MPRS. Tujuannya hanya satu, agar bisa menumbangkan Soekarno agar penderitaan rakyat Indonesia segera berakhir. Nasution melihat bahwa Soekarno telah diangkat sebagai Presiden seumur hidup oleh MPRS, maka hanya MPRS saja yang dapat mencabut keputusan tersebut sekaligus melengserkannya.
Setelah Soeharto menerima Supersemar (Surat Perintah 11 Maret) dari Soekarno. Nasution melihat dan menyadari bahwa Supersemar bukan hanya sekedar memberikan kekuasaan darurat kepada Soeharto tetapi juga memberinya sebagian kontrol eksekutif.
Nasution menyarankan kepada Soeharto bahwa ia berhak membentuk kabinet darurat untuk menggantikan kabinet yang pro kepada PKI dan Soekarno. Soeharto berusaha berhati-hati dalam hal ini tentang apa yang dia bisa atau yang tidak bisa dia lakukan dengan kekuatan Supersemar, karena wewenang pembentukan kabinet adalah tanggung jawab presiden sepenuhnya. Disini Nasution mendorong Soeharto dan berjanji untuk memberikan dukungan penuh.
Menanggapi permintaan Nasution, Soeharto mulai melakukan pembersihan kabinet dari unsur-unsur PKI. Bahkan pada tanggal 18 Maret 1966, Soeharto menangkap Chaerul Saleh yang merupakan ketua MPRS dan beberapa anggota MPRS yang dianggap pro PKI. Sebagai gantinya dibentuklah MPRS pengganti. Dari sinilah Nasution masuk menjadi anggota MPRS bersama Sukarni dan kawan kawan.
MPRS yang baru pun segera bersidang dan secara aklamasi memilih Nasution sebagai ketua MPRS yang baru. Namun semua itu bagai sia-sia. Rakyat sudah merasa menang dan euforia dgn dibubarkannya PKI dan underbownya. Rakyat sdh kembali beraktivitas seperti biasa. Situasi negara sdh kembali kondusif. Keadaan kondusif ini berjalan selama 2 bulan hingga bulan Mei 1966 hingga situasi kembali memanas saat diketahui Sukarno mengawini gadis belia asal Kalimantan yg bernama Heldy Jaffar pd bulan Mei 1966. Perkawinan Sukarno dgn Heldy Jaffar seolah menyadarkan rakyat bila ternyata Sukarno memang tidak pernah memikirkan kepentingan dan kebutuhan rakyat selain memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Rakyat kembali turun ke jalan. Kali ini tuntutan rakyat mengarah langsung kepada Sukarno. Tututan “Adili Sukarno”, “Mahmilubkan Sukarno”, “Turunkan Sukarno”, “Sukarno Gestapu Agung” dll tertulis dalam spanduk2 yg digelar rakyat. Situasi negara kembali memanas. Situasi ini bagai menjadi amunisi bagi Nasution untuk menuntaskan cita-citanya.
Pasca dilantik sbg Ketua MPRS pd bulan Maret 1966, sebenarnya Nasution seperti kehilangan arah karena situasi yg sdh kondusif saat itu. Rakyat yg sdh merasa puas karena PKI sdh dibubarkan walau tanpa payung hukum yg kuat, sdh kembali beraktivitas dgn normal. Justru perkawinan Sukarno pada bulan Mei 1966 dan gejolak yg timbul akibat perkawinan tsb menjadi momen bagi Nasution untuk segera mengadakan SU MPRS pada bulan Juni 1966. Disinilah kecerdikan seorang Nasution ditunjukan. Sebagai mandataris rakyat, Nasution menampung aspirasi rakyat di MPRS. Kecerdikan Nasution makin kelihatan, pada 21 Juni 1966, MPRS meratifikasi Supersemar. Dengan keputusan ini berarti Soekarno tidak dapat dan dilarang menarik kembali SP 11 Maret. Lalu pada 22 Juni 1966, Soekarno mencoba melawan dengan menyampaikan pidato yang berjudul Nawaksa (sembilan butir suara). Namun Nasution seolah bergeming bahwa Supersemar tidak boleh lagi dicabut atau ditarik kembali karena sudah diambil alih oleh MPRS sebagai pemegang mandat tertinggi.
Selama dua minggu kedepan, nasution sibuk memimpin Sidang Umum MPRS. Dibawah kepemimpinannya, MPRS mengambil beberapa langkah penting, seperti mencabut pengangkatan Soekarno sebagai presiden seumur hidup dan mengeluarkan TAP MPRS nomor 25 tahun 1966 tentang pelarangan faham Marxisme-Leninisme, pembubaran PKI dan memerintahkan pemilihan legislatif yang akan diselenggarakan pada bulan juli 1968.
Sidang MPRS juga meningkatkan kekuasaan Soeharto dan secara resmi memerintahkan Soeharto untuk merumuskan kabinet baru. Sebuah keputusan juga disahkan yang menyatakan bahwa bila presiden berhalangan dan tidak dapat melaksanakan tugasnya, maka presiden akan digantikan oleh pemegang Supersemar, bukan Wakil Presiden karena jabatan Wakil Presiden kosong. Inilah kenapa Nasution dulu menolak ditawari kursi Wakil Presiden. Dengan menjadi ketua MPRS, nasution bisa menumbangkan Soekarno.
Merasa bila Supersemar telah dijadikan alat untuk melawannya, Soekarno-pun berusaha melawan. Pada HUT RI ke 21 tahun 1966, dalam pidatonya yang diberi judul Jasmerah, Soekarno berusaha menarik simpatik rakyat dengan menyebut bila SP 11 Maret sebagai sebuah surat perintah biasa yang dapat diberikan kepada siapa saja. Soekarno juga berusaha mendikte (melecehkan) langkah-langkah yang telah dilakukan MPRS. Pada kesempatan itu Soekarno juga mengucapkan terima kasih kepada Soeharto yang telah menjalankan perintah yang diamanatkan SP 11 Maret. Beberapa kalangan menilai, pidato Soekarno ini seolah ingin membenturkan Soeharto dengan Nasution yang merupakan ketua MPRS. Disatu sisi Soekarno menilai negatif langkah-langkah yang dilakukan Nasution lewat MPRS, dan disisi lain memuji Soeharto yang telah menjalankan perintahnya.
Tahun 1966 pun berlalu, Soekarno semakin defensif dan popularitasnya di kalangan rakyat Indonesia semakin menurun. Jika Soeharto masih berbelas kasih kepada Soekarno seperti membelanya di hadapan demostran rakyat, tapi tidak demikian dengan Nasution. Bagi Nasution, Soekarno harus segera dilengserkan dan diganti.
Pada sidang MPRS, Nasution menyatakan bahwa Soekarno harus bertanggung jawab atas situasi buruk yang melanda pemerintahan dan rakyat Indonesia saat itu. Nasution juga menyerukan agar Soekarno segera dibawa ke pengadilan.
Pada 10 Januari 1967, Nasution dan MPRS bersidang kembali dan Soekarno kembali menyerahkan laporannya. (kali ini Soekarno tidak menyampaikan hal itu secara pribadi sebagai pidato), yang diharapkan bisa mengatasi masalah G30S. Soekarno memberi judul “Pelengkap Nawaksara”. Walau dalam keadaan terpojok dengan dukungan yang kian melemah, namun kelicikan Soekarno seolah tidak pernah pudar. Pada salah satu poin “Pelengkap Nawaksara”, Soekarno menyatakan, jika dirinya (Soekarno) disalahkan atas peristiwa G30S, maka Menteri Pertahanan dan Keamanan pada saat itu (Nasution) juga harus dipersalahkan karena tidak mampu melihat dan mendeteksi akan terjadinya peristiwa G30S dan menghentikannya sebelum itu terjadi. Poin ini jelas seperti ingin menjebak dan menjerat Nasution menjadi orang yang patut dipersalahkan juga. Tentu saja laporan pertanggung jawaban ini kembali ditolak mentah-mentah oleh MPRS yang dipimpin Nasution. Bahkan pada tgl 13 Februari 1967 Nasution menyerang balik dengan mempertanyakan maksud ucapan Sukarno tentang “Dalam Sebuah Revolusi, Kadang Seorang Bapak Harus Memakan Anaknya Sendiri”. Pertanyaan ini tidak pernah mampu dijawab Sukarno hingga akhir hayatnya.
Pada bulan Februari 1967, DPR-GR menyerukan Sidang Istimewa MPRS. Akhirnya pada tanggal 12 Maret 1967, secara resmi MPRS mencabut mandat dari Soekarno dan mengangkat Soeharto sebagai Plt Presiden. Soekarno tampaknya sudah pasrah dengan nasibnya. Nasution kemudian mengambil sumpah Soeharto dan melantiknya sebagai pejabat presiden. Setahun kemudian pada 27 Maret 1968, Nasution kembali memimpin Sidang MPRS dan melakukan pemilihan presiden. Secara aklamasi anggota MPRS memilih dan mengangkat Soeharto sebagai Presiden Indonesia.
Setelah kemenangannya menumbangkan Kediktatoran Soekarno, Nasution secara perlahan menarik diri dari urusan politik di era Presiden Soeharto. Baginya, perjuanganna telah usai. Perjuangannya untuk membebaskan rakyat Indonesia dari cengkeraman kediktatoran Soekarno telah tercapai. Namun sayang, perjuangannya untuk menuntut balas kematian putri bungsunya seolah mendapat jalan buntu. Soeharto yang diyakini dan dipercayainya untuk segera mengadili Soekarno ternyata tidak pernah menjalankan perintah TAP MPRS nomor 33 tahun 1967. Sampai Sukarno meninggal dunia, Suharto tidak pernah sekalipun berusaha menyeretnya ke depan sidang pengadilan untuk diadili. Bahkan sebagai bentuk penghormatan, pada tahun 1986 Suharto memberikan gelar Pahlawan Proklamasi kepada Sukarno & Hatta. Mendirikan Tugu Proklamasi untuk menghormatinya serta menyematkan nama Sukarno-Hatta pada nama Bandara Internasional Indonesia. Dan terakhir, Suharto menyematkan foto Sukarno-Hatta pada lembaran uang kertas Rp.100.000,-
NB : Berdasarkan fakta sejarah yg terjadi dimasa itu, kejatuhan Sukarno lebih disebabkan oleh keangkuhan dan rasa percaya diri Sukarno yg terlalu tinggi yg menganggap rakyat Indonesia masih bodoh dan masih dapat dibodoh-bodohi. Rasa percaya diri Sukarno untuk mengawini seorang gadis belia yg berusia 18 tahun yg bernama Heldy Jaffar pada bulan Mei 1966 padahal saat itu suasana msh berduka atas kematian putra2 terbaik bangsa dan kondisi ekonomi yg masih amburadul. Perkawinan ini justru menyadarkan rakyat Indonesia bila ternyata selama ini Sukarno tidak pernah memikirkan kepentingan dan kebutuhan rakyat Indonesia. Seandainya Sukarno tdk pernah mengawini Heldy Jaffar pd bulan Mei 1966 maka rakyat tentu tidak akan kembali turun ke jalan untuk berdemonstrasi dan Jenderal Nasution yg sdh menjadi Ketua MPRS pd bulan Maret 1966 tentu tdk akan punya alasan untuk menyeret Sukarno ke SU MPRS untuk dimintai pertanggungjawaban.
Oleh : seorang penulis, yg saya salut dan isi hati isaya.
BANGKITLAH NEGERIKU
Amalan Mata Bathin Untuk melihat Hal Ghoib
Komentar
Posting Komentar